Senyap di Telaga Blembeng

Februari 27, 2015

Telaga Blembeng terselinap sunyi di Kawasan Karst Gombong Selatan. 

“Saya tuh kagum sekali kenapa banyak orang datang ke Blembeng. Kata mereka, ingin lihat telaga di puncak bukit. Padahal jalan ke sininya ya susah.”

Sutiyah hanya mengenang masa silam dari Telaga Blembeng pada dekade 90-an. Dia ingat sekali dulu telaga yang ada di desanya, Watukelir, Ayah, Kebumen ini banyak dikunjungi orang dari berbagai daerah. Sampai-sampai motor, mobil dan truk pengangkut orang dulunya terparkir di depan rumahnya. Tapi sejak ada korban tenggelam di Blembeng, cerita meriah telaga yang betul-betul berada di daerah puncak Kawasan Karst Gombong Selatan (KKGS) ini melirih lalu tertelan sunyi hingga tak terdengar lagi.

Entah kenapa hari itu saya merasa ingin sekali melihat Telaga Blembeng. Sebenarnya saya pernah mendengar kisahnya tempo masa saat beperjalanan di sekitar Goa Petruk. Namun, ketika itu saya tak cukup antusias untuk menjangkau tempat ini karena harus dilalui dengan menanjak hebat. Hari itu, saya pun mantapkan diri dengan motor berkondisi prima untuk menjangkau Desa Watukelir yang merupakan salah satu desa tertinggi di Kawasan Karst Gombong Selatan (KKGS).

Bertanya lokasi tepatnya di mana Telaga Blembeng, tak semua orang di desa-desa sekitar Watukelir akan tahu. Malah saya diinformasikan tentang desa Telogosari yang memang adalah desa setelah Watukelir dan Kalibangkang. Tiba di Desa Watukelir, jika ditanya letak Telaga Blembeng, warga setempat langsung mengarahkan saya ke rumah Ibu Sutiyah di depan Balai Desa Watukelir.

Awalnya saya sangat tak disarankan untuk mengunjungi Telaga Blembeng. Katanya di tengah hutan, tidak ada orang, angker dan jauh berjalan. Jelas saya cukup khawatir karena saya datang hanya sendirian dan cuaca sedang mendung menghebat. Untungnya ada Rafiq, remaja desa yang kebetulan melintas dan diminta Sutiyah untuk mendampingi saya menelusur hutan menuju Telaga Blembeng.

Memang betul, sebaiknya didampingi oleh warga setempat untuk ke Telaga Blembeng. Jalan masuk hutan yang jarang dirambah membuat di beberapa tempat semak cukup rapat. Ada juga pertigaan jalan yang bisa menyesatkan dan malah menjauhkan dari tujuan perjalanan. Suara desiran hewan semacam gangsir membuat suasana rimbun hutan karst ini pun makin menjadi ‘gelap’. Bisa dibayangkan jika tadi saya nekat jalan sendirian, pasti saya urungkan begitu menembus hutan, lalu kembali ke rumah Bu Sutiyah.


Rafiq menemani saya menuju Telaga Blembeng. Menembus semak liar.
Refleksi jernihnya Telaga Blembeng. Mendung aja seperti ini apalagi cerah. Pasti cantik sekali.
Hamparan sawah dan karst Gombong Selatan. Telaga Blembeng terletak di antara beberapa puncaknya.

Di perjalanan, Rafiq menunjukkan sebuah goa yang cukup lebar menganga. Pintu goa itu agak tertutup semak tanda bahwa jarang ada yang masuk ke dalam.  Katanya hanya pecinta alam yang pernah masuk ke dalam goa. Kami juga melintasi sebuah kubangan telaga yang telah mengering. Kini telah menghijau yang ditutupi semak liar dengan tumbuh-tumbuhan seperti kelapa.   

Setengah jam menapaki rimba dan tanah berkapur ini, saya tiba pada Telaga Blembeng. Kesan pertama yang saya dapatkan adalah begitu permai nan damainya telaga ini. Sebuah kolam yang cukup besar berwarna hijau lumut dengan tepian berdinding bukit-bukit karst yang cantik membuat saya terlempar pada keheningan. Serasa berjumpa dengan petak dunia yang tak terjamah. Air begitu tenang. Pohon nyiur di salah satu sisinya membuat manis suasana. Sesekali burung sriti lewat memamerkan molek terbangnya.

Telaga Blembeng terselinap sunyi di kawasan Karst Gombong Selatan dengan luas kira-kira sekitar 4 hektar. Musim hujan adalah saat dimana melimpah air yang membuatnya manis bersama suasana menghijau alam sekitar. Adapun musim kemarau menjadikan telaga ini kering hanya sekedar cekungan kerontang. Terdapat sebuah goa kecil di salah satu sisinya yang biasanya mengalirkan air sebagai sumber sungai bawah tanah.

Saya duduk dulu istirahat dikawani Rafiq. Betul-betul saya menyesap senyap dengan baik-baik di Telaga Blembeng. Terlintas dalam benak pikiran, tempat ini punya potensi besar untuk ‘hidup’ kembali dikunjungi banyak orang, setidaknya saat musim ada airnya. Lanskap yang disuguhkan begitu indah bisa membuatnya pantas jadi lokasi rekreasi masyarakat seperti masa lalunya. Terlebih antusiasme wisata di tingkat lokal hari ini sudah jauh lebih bergairah. Namun, kenapa tidak ada yang mengembangkannya?

“Biasanya ada yang mancing di sini mas, orang sekitar Ayah saja. Namun, kalau yang berani mandi sekarang sudah sangat jarang. Saya saja tak pernah. Katanya angker” ungkap Rafiq polos.


Catatan:

- jika tertarik untuk berkunjung ke Telaga Blembeng, datanglah ke Desa Watukelir, Ayah. Jalanan menanjak hebat sehingga pastikan kendaraan prima. Desa Watukelir bisa dijangkau dari Gombong ke selatan ke arah Suwuk sampai pertigaan Desa Geblug belok kanan. Parkir di depan Desa Watukelir.
- lokasi Telaga Blembeng bukan atau belum menjadi tempat wisata. Pastikan kedatangan kalian diketahui warga setempat. Sebisa mungkin minta dikawani oleh warga setempat.  
- jaga kebersihan, kesopanan, kelestarian alam. Dilarang berbuat asusila. Tempat ini bukan tempat yang sembarangan. 

Telaga Blembeng biasa dimanfaatkan untuk memancing. Pohon kelapa biasa untuk diambil niranya.
Berkat Rafiq, saya bisa bertakzim ke Telaga Blembeng

You Might Also Like

4 komentar

  1. itu desa saya mas... mungkin banyak yg belum mas ketahui dari danau tersebut

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas Nur Hamid, sy pengin ke telaga Blembeng, Mas Nur Hamid tinggalnya di Watukelir?

      Hapus
  2. deket sama rumahku itu tinggal jalan dkit ,,,inget waktu kecil ska ksitu

    BalasHapus
  3. deket sama rumahku itu tinggal jalan dkit ,,,inget waktu kecil ska ksitu

    BalasHapus

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK