Tana Toraja (Bagian II), Rambu Solo yang Terlewatkan

Januari 23, 2013

Kepala kerbau yang terpotong. Sisa upacara Rambu Solo hari kemarin. 

“Kematian bukan untuk berduka, tetapi harus dirayakan dengan pesta senang-senang.” ujar Basho memantik wawasan Rambu Solo, “Orang Toraja akan merayakan pesta kematian lebih meriah daripada pesta kelahiran, bahkan pesta pernikahan.”

Setengah jam perjalanan, kami tiba di Pasar Makale, ibukota kabupaten Toraja. Basho turun bertanya ke penduduk setempat tentang lokasi Rambu Solo. “Biasanya Rambu Solo ramai di hari Senin s.d. Kamis, sekarang Sabtu jarang. Semoga kita beruntung mendapatkannya.” terang Basho dengan tetap menjaga harapan saya. “Bulan Juli s.d. Agustus adalah puncak ramainya Rambu Solo.”

Kami menuju sebuah lokasi Rambu Solo yang tak jauh dari Makale. Namun, cukup masuk ke dalam, sehingga harus berjalan kaki ke lokasi. Menanjak di atas bukit. Beruntung, gerimis sudah reda meski saya tetap harus berhati-hati karena jalannya licin. Maklum jalannya masih tanah.

Saya menjumpai lokasi upacara sepi. Hanya tersisa rumah adat Tongkonan, lumbung padi Alang Sura beserta bangunan-bangunan nonpermanen seperti tarub dan panggung yang didirikan untuk keperluan upacara. Warna merah, kuning, hitam dan putih yang menjadi warna khas Suku Toraja menghiasi bangunan-bangunan itu. 

Tampak beberapa orang sedang membersihkan dan memberesi peralatan upacara. Seorang pria separuh baya bersarung mendatangi saya. “Upacaranya kemarin, bang. Ramai sekali. Banyak juga bule-bule yang datang.” Sembari dia menunjuk beberapa kepala kerbau yang telah dipotong.

“Aaah, saya melewatkan Rambu Solo” dalam hati setengah menyesal. Tak jauh dari kepala kerbau itu, ada genangan darah di atas tanah. Darah itu dibiarkan begitu saja, berbeda dengan penyembelihan kurban dalam Islam dimana darah bekas sembelihan dikubur tanah. Bau nyinyir darah cukup semerbak bergantian dengan bau bekas hujan. Seperti tidak sempurna datang ke Tana Toraja tanpa menyaksikan Rambu Solo.

Rambu Solo adalah upacara yang sangat khas Toraja. Upacara ini dilakukan untuk menguburkan orang Toraja. Masyarakat Toraja percaya tanpa upacara Rambu Solo maka arwah orang yang meninggal tersebut akan memberikan kemalangan kepada orang-orang yang ditinggalkannya.
Menyelenggarakan Rambu Solo butuh proses yang sakral dan tidak sembarangan. Perlu ada hewan persembahan untuk memuluskan arwah seseorang ke suatu tempat bernama Puya. Keluarganya harus menyediakan kerbau dan babi. Kerbau dianggap sebagai kendaraan arwah, sedangkan babi adalah makanan arwah.

Pelaksanaan Rambu Solo biasanya tidak langsung dilakukan setelah orang meninggal. Ini dikarenakan keluarga harus menyediakan hewan korban yang tentunya membutuhkan biaya besar untuk mendapatkannya. Untuk mengawetkan mayat, maka dibalsem dengan ramuan khas daun sirih dan getah pisang. Mayat ini akan dimasukkan ke dalam peti yang disebut ‘erong’ berbentuk kerbau (laki-laki) atau babi (perempuan). Untuk bangsawan, peti berbentuk rumah adat. Peti ini akan disimpan di salah satu Tongkonan hingga pelaksanaan upacara Rambu Solo.

Bagi kalangan dari bangsawan Toraja yang meninggal, mereka akan memotong kerbau yang jumlahnya 24 hingga 100 ekor sebagai kurban (Ma’tinggoro Tedong). Satu diantaranya adalah tedong bonga (kerbau belang) yang terkenal mahal harganya.

“Tedong Bonga harganya bisa sampai seperempat milyar rupiah” ungkap Basho.
“Wooow, satu kerbau setara mobil Honda Jazz!” hitung saya membandingkan. Luar biasa benar ini orang Toraja. 

Dalam Rambu Solo, upacara pemotongan kerbau adalah salah satu atraksi yang paling khas dari Tana Toraja. Penjagal akan menebas leher kerbau tersebut menggunakan sebilah parang dalam sekali ayunan. Seketika sang kerbau langsung terkapar bermandikan darah. Ritual ini biasanya gegap gempita dengan sorak-sorak penonton.

“Ah, andaikan bisa mengikuti Rambu Solo pasti seru sekali” saya masih berandai-andai. Tiba-tiba Pak Basho menyadarkan andai-andai saya. Dia mengajak pergi untuk menuju ke destinasi lain.
Saat berjalan turun, saya berjumpa seorang ibu tua sedang memberi makan kerbau ternaknya yang masih cukup belia di kandang. Senyumnya merekah menyapa saya. Saya balas tersenyum juga. Serasa kami hangat terhubung karena senyum itu. Terlihat dia begitu menikmati kegiatannya, meski harus berkotor-kotor dan berbecek-becek.

Bagi orang Toraja, memelihara kerbau adalah sebuah jaring pengaman ekonomi sekaligus budaya sebuah keluarga. Ketika ada anggota keluarga meninggal, kerbau untuk kurban Rambu Solo bisa disediakan secara mandiri. Ibu tua itu setidaknya telah menabung untuk kurban kerbau untuk keluarganya atau malah buat dirinya sendiri.


|| Cerita petualangan saya di Tana Toraja bagian ketiga bisa disimak di sini -> Tana Toraja (Bagian III), Suaya King's Grave: Makam Ningrat Sangalla'




Lokasi Rambu Solo yang sepi. Hanya tersisa bangunan-bangunan upacaranya. @iqbal_kautsar
Panggung-panggung penonton yang tersisa. @iqbal_kautsar



Genangan darah bekas kurban Rambu Solo. @iqbal_kautsar
Membawa jenazah ke liang kubur. (www2.tempo.co)





Alang Sura. @iqbal_kautsar

Karangan bunga untuk jenazah.
@iqbal_kautsar


You Might Also Like

0 komentar

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK